Alasan memutus

⠀ ⠀ ⠀⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀⠀
⠀ ⠀ ⠀⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀⠀
 ⠀⠀
"Jangan jadi seperti ibumu, dirimu jauh lebih baik darinya."

"Lagipula, apa yang bisa dilakukan ibumu itu? Dia tak jauh berbeda, hanya menumpang rumah dan nama."

Semua diucapkan seolah memang benar seperti itu. Berbicara seenak lidah didepan keluarga besar, tanpa rasa segan dan kasihan.

Eyang Ajeng tak suka. Hanya itu alasan kenapa semua kalimat terlepas dari celah bibirnya. Mempermalukan bahkan kadang tak menganggap seperti menantu.

Aku rasa juga sudah terlambat meminta hak lagi, tanggung jawab sudah ditinggal paksa.

"Tak ada yang meminta untuk pergi, tolong benahi dirimu," ucapnya terakhir kali.

Benar tak ada yang meminta pergi, namun juga tak ada yang melarang. Wajar bila rasa tak dianggap lewat dalam dirinya. Bukan khilaf, semua dilakukannya secara sadar.

"Mungkin ibumu kecewa, tapi ku rasa dirimu sudah cukup dewasa untuk berpikir."

Dibiarkan lepas, tak dicari. Seolah memang benar tak dibutuhkan lagi.

Ayah, hanya seorang yang apatis. Mengiyakan semuanya, mengikuti lisan sang ibu tanpa ada membela istrinya.

"Ayah sudah bicara ke eyang beberapa kali, tapi apa eyang bisa dirubah dan dibantah?"

Baru beberapa kali bicara, tapi bunda sudah berkali-kali diperlakukan seenak hati.

Bunda hanya menerima, jika dianggap terlalu baik juga bunda tidak sebaik itu. Ada rasa tak suka pula dalam dirinya, namun dilakukannya dengan cara yang berbeda. Pun jika beliau membantah eyang, akan lebih runyam.

Hal tersebut berlanjut tahun demi tahun, dari dirinya masih kecil hingga sang bunda tiada. Hanya dibeberapa kesempatan eyang dan bunda terlihat akur. Tak sampai situ, kadang persoalan tentang konflik mereka juga sampai ke rumah tangga.

Dan Kenjira kecil hanya terdiam, melihat pertengkaran 'kecil' orang tua nya, mendengarkan seolah radio tua. Terlalu sering dan kian hari kian bertambah.

— Kenjira . ⌗PENAPAK

Komentar

Postingan Populer