Naskah kepulangan
⠀ ⠀ ⠀ ⠀⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀⠀ ⠀⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀⠀
"Sudah lama kita ga berdua begini."
Lisannya hanya tersenyum, menyesap teh hangat yang ada digenggaman. Satu lagi penghuni rumah, Yuukana.
"Mbak, apa ga kangen rumah?"
"Rumah ku kan disini, haha."
Netra nya sengaja disibukkan dengan handphone dan jemari yang sibuk mengetik. Tidak sopan mengalih dari orang yang berbicara, tapi dirinya tahu kemana dialog ini berjalan.
"Bukan ini, Mbak." "Rumah kita, rumah kita yang dulu. Tempat kita main bareng."
"Oh ..."
"Mungkin kesannya aku ga sopan sama sedikit maksa, tapi ... rumah sepi tanpa Mbak."
"Aku lagi ga pengen bahas itu, aku ga mau bikin orang kecewa lagi buat kedua kalinya." "Putus hubungan sudah cukup menyiksa, gimana kalau aku pulang dan bikin orang disana merasa risih?"
Jeda diantara mereka, bunyi kipas menoleh kanan kiri jadi penyeimbang.
"Maaf ya, Mbak. Pertanyaan ku bikin Mbak ga nyaman atau gimana ... aku cuma mau kita balik lagi, bareng-bareng."
"Kapan-kapan ya kita bahas itu lagi." "Sudah larut, ayo tidur. Jakarta ke Surabaya apa ga capek kamu di pesawat, hm?" Tangannya merangkul pundak Yuukana, lemas. Perjalanan cukup melelahkan walau hanya duduk dalam kabin.
"Kita semua mau pulang, tapi bukan sekarang."
'Besok' untuk pulang, lebih ke 'besok' dikehidupan berikutnya. Maaf Yuukana, aku menolak ajakan mu kali ini. Kita akan bermain lagi di sanggar, nanti, ketika raga ku cukup kuat.
Surabaya masuk pukul 2 dini hari, matanya masih terjaga memandang langit-langit ruang nyamannya. Ucapan yang lebih muda masih terngiang, pulang.
Pulang tak pernah sesulit ini untuknya. Membawa luka lama dan penyesalan, rindu dan hangat yang ditinggalkannya secara paksa. Buku mana lagi yang harus dipelajari untuk dapat pulang, cukup.
"Tak semuanya sembuh dari luka, Mbak." Sosok masuk keruangannya, mengejutkan tentu saja. Yuukana duduk pada kursi putih samping ranjang tempatnya merebah.
"Kamu ya, emang suka banget masuk kamar ga pake salam ga pake ngetok dulu," sindirnya disambut senyum kecil.
"Nobody wants to be alone, Mbak. Nanti kita cari lampu buat pulang bareng."
"Gampang kalo ngomong mah." Punggung dibuat sejajar, tak lagi rebah diranjang. Lampu yang mati dihidupkan 1, warm white di nakas.
"Kamu kesini ga cuma main, kan? Pasti ada maksud-maksud lain."
Yang diajak bicara tersentak kecil. Kedoknya terbongkar, tak sepenuhnya salah. Bingung menjawab, diam saja menatap sekeliling.
"Aku tahu maksudmu, kok. Mungkin udah terlalu lama aku pergi, ga pernah ada satu kabar sampai ke sana juga." "Aku bakal pulang, nanti, kalau kita sudah sama-sama sanggup."
Bohong. Yang tak sanggup cuma dirinya, seorang.
"Buat kesalahan itu wajar kok, Mbak. Semua juga buat kesalahan, dan itu sangat normal. Adanya waktu dikasih buat memperbaiki, diberi kesempatan untuk memulai lagi. So, why don't we try it? Kita ga tau, mungkin tahun depan, bulan depan, minggu depan atau bahkan besok ada yang pergi ...."
Tentu saja, akan ada yang pergi.
— Kenjira . ⌗PENAPAK
"Sudah lama kita ga berdua begini."
Lisannya hanya tersenyum, menyesap teh hangat yang ada digenggaman. Satu lagi penghuni rumah, Yuukana.
"Mbak, apa ga kangen rumah?"
"Rumah ku kan disini, haha."
Netra nya sengaja disibukkan dengan handphone dan jemari yang sibuk mengetik. Tidak sopan mengalih dari orang yang berbicara, tapi dirinya tahu kemana dialog ini berjalan.
"Bukan ini, Mbak." "Rumah kita, rumah kita yang dulu. Tempat kita main bareng."
"Oh ..."
"Mungkin kesannya aku ga sopan sama sedikit maksa, tapi ... rumah sepi tanpa Mbak."
"Aku lagi ga pengen bahas itu, aku ga mau bikin orang kecewa lagi buat kedua kalinya." "Putus hubungan sudah cukup menyiksa, gimana kalau aku pulang dan bikin orang disana merasa risih?"
Jeda diantara mereka, bunyi kipas menoleh kanan kiri jadi penyeimbang.
"Maaf ya, Mbak. Pertanyaan ku bikin Mbak ga nyaman atau gimana ... aku cuma mau kita balik lagi, bareng-bareng."
"Kapan-kapan ya kita bahas itu lagi." "Sudah larut, ayo tidur. Jakarta ke Surabaya apa ga capek kamu di pesawat, hm?" Tangannya merangkul pundak Yuukana, lemas. Perjalanan cukup melelahkan walau hanya duduk dalam kabin.
"Kita semua mau pulang, tapi bukan sekarang."
'Besok' untuk pulang, lebih ke 'besok' dikehidupan berikutnya. Maaf Yuukana, aku menolak ajakan mu kali ini. Kita akan bermain lagi di sanggar, nanti, ketika raga ku cukup kuat.
—
Pulang tak pernah sesulit ini untuknya. Membawa luka lama dan penyesalan, rindu dan hangat yang ditinggalkannya secara paksa. Buku mana lagi yang harus dipelajari untuk dapat pulang, cukup.
"Tak semuanya sembuh dari luka, Mbak." Sosok masuk keruangannya, mengejutkan tentu saja. Yuukana duduk pada kursi putih samping ranjang tempatnya merebah.
"Kamu ya, emang suka banget masuk kamar ga pake salam ga pake ngetok dulu," sindirnya disambut senyum kecil.
"Nobody wants to be alone, Mbak. Nanti kita cari lampu buat pulang bareng."
"Gampang kalo ngomong mah." Punggung dibuat sejajar, tak lagi rebah diranjang. Lampu yang mati dihidupkan 1, warm white di nakas.
"Kamu kesini ga cuma main, kan? Pasti ada maksud-maksud lain."
Yang diajak bicara tersentak kecil. Kedoknya terbongkar, tak sepenuhnya salah. Bingung menjawab, diam saja menatap sekeliling.
"Aku tahu maksudmu, kok. Mungkin udah terlalu lama aku pergi, ga pernah ada satu kabar sampai ke sana juga." "Aku bakal pulang, nanti, kalau kita sudah sama-sama sanggup."
Bohong. Yang tak sanggup cuma dirinya, seorang.
"Buat kesalahan itu wajar kok, Mbak. Semua juga buat kesalahan, dan itu sangat normal. Adanya waktu dikasih buat memperbaiki, diberi kesempatan untuk memulai lagi. So, why don't we try it? Kita ga tau, mungkin tahun depan, bulan depan, minggu depan atau bahkan besok ada yang pergi ...."
Tentu saja, akan ada yang pergi.
— Kenjira . ⌗PENAPAK
Komentar
Posting Komentar