Tikam Pembayang; Joureizen Event

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

⚠️ Cerita ini tidak memiliki hubungan dengan karakter utama. ⚠️

𝑩𝒖𝒓𝒆𝒐𝒓𝒂 𝑯𝒖𝒓𝒓𝒊𝒄𝒂𝒏𝒆
⭑Kenjira Ratnabayudiarsa (Kenjira)
⭑Nadine Nayanika (Nadine)

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━



Choi Yuju as Kawila Destrala.
Lee Dokyeom as Raga Malingga.
Choi Seungcheol as Hardika Bayualig.

━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━

Reformasi. Warsa penuh adorasi¹ yang mengikis aksi serta rasa peduli hingga kita tuli pada teriak jiwa yang tak bisa lari. Ini perihal kita yang menuntut hak diri, berakhir ngeri diserang negara sendiri. Mereka bilang, "lari, ambil tiketmu dan pergi." Tidak, kali ini aku tak akan mendengar kalian, maafkan. Aku, akan menggores sejarahku sendiri.

Terpaksa dirinya harus berangkat, menjadi lebih baik agar generasi selanjutnya tak menderita seperti saat ini. Ia memasrahkan sisanya pada kawan yang berjuang di lapangan, ia akan menyusul nanti.




"Kamu ikut?" Malingga menoleh, tersenyum dan mengangguk kecil sembari menyedot es teh dari plastik yang digenggamnya. Sedangkan raut wajah Kawila berubah, ia khawatir.

"Malingga, kamu ikut di kampus aja, ya?" Kawila memohon kepada pria disampingnya, namun Malingga kembali tersenyum.

"Aku disini jadi ketua BEM, aku ga mungkin biarin anak-anak keluar sendirian."

"Tapi ... kamu tahu kan? Banyak mahasiswa yang hilang."

Malingga menunduk, membiarkan matahari mengenai tengkuknya walaupun berteduh di bawah beringin tua depan Fakultas Hukum. Ucapan Kawila benar adanya, banyak mahasiswa tak kembali dari aksi tempo hari. 

"Aku tau La, sebagian dari temanku juga ngga bisa dihubungi. Tapi kamu paham, posisiku dan keadaan mendesak kita. Diam saja ngga akan membuat perubahan sedang itu yang tengah kita perlukan sekarang," ujar Malingga.

Tak mumpuni² lisannya untuk berucap 'takut'. Negara sudah lumpuh, rakyat terus mengeluh dan harus bersimbah peluh untuk menuntut hak diri. Reformasi. Mereka sadar hanya dengan langkah kecil untuk meneriakkan orasi satu individu bisa membuat perubahan; reformasi.

"Jaga diri kamu, Wila. Segera pulang kunci rumah dan tutup jendela dan dengarkan radio. Aku akan kembali nanti ..., atau mungkin engga."

Menatap Kawila, netra Malingga sejenak terdayuh³, bagaimana jika ia ikut menghilang seperti teman-temannya? Bagaimana kalau dia tak kembali? Apa keputusannya benar sekarang?

Jemari Kawila terulur menyentuh bingkai wajah Malingga. "Berdiam saja di rumah ngga aka membuat perubahan. Sedang aku pun ingin mengukir perubahan," bertukar pandang sesaat, Kawila bersuara, "Aku ikut."




Pengap desak, orasi dan dorong-dorongan. Bakar-bakar, memampang kertas. Banyak sekali akhir-akhir ini, tak kenal tempat pun masa.

Raganya kini dihimpit hutang dan kenyaatan, jiwanya diguncang pasrah dan gundah. Mukjizat mana lagi yang diharapkan? Nampak Tuhan tak lagi melirik negeri dan hamba yang tersimpuh.

"Jangan ikut, ibu takut kamu kenapa-kenapa," pinta ibunya pagi itu, dirinya yang hendak pergi kuliah itu terhenti langkahnya.

"Bu, kalau bukan kami, siapa lagi? Negara kita tengah susah, bu. Ibu sekarang menganggur karena krisis, sedang pemerintah juga kurang bertindak."

Wajahnya makin muram mendengar alasan sang putri. Negara tengah krisis, pun dengan adanya reformasi oleh pemerintah membuat rakyat makin nelangsa. Mahasiswa turun ke jalan meneriakkan orasi dan meminta penurunan oleh sang presiden, sang penentu jalannya negara. 

Mungkin, butuh beberapa nyawa untuk membuat mereka yang di atas kursi jabatan sadar. Mungkin akan lama sekali, mungkin akan sakit, mungkin akan menyiksa. Tapi, apa boleh buat? Harap harap di akhir lembar perjuangan ini sempena⁴ akan diberikan sebagai balas jasa serta nyawa.




"Kawila, tunggu sini sama cewe yang lain," ujar Malingga, Kawila terdiam hanyut dalam lamunan, ia tak siap dengan keputusan terburuk dari ini semua. Mahasiswa perempuan di ungsikan di samping jalan, berjejer melihat para mahasiswa dari fakultas dan kampus lain meneriakkan orasi.

"Ga, kalau aku hubungi, langsung dibalas, ya?"

"Bakal dibales secepat kilat, duduk disini. Jaga yang lain, aku drop Ibram sama Ignus disini. Mereka juga bakal jaga."

"Aku mau ikut ...."

Lagi-lagi tatapan Kawila berubah, wajahnya yang tadi baik-baik saja kembali muram menahan sedih. Malingga itu kekasihnya, jelas ia khawatir. Ditambah adanya penembakan dan penculikan yang membuat emosi mahasiswa di penjuru negeri meluap.

"A Dika juga ikut, aku takut kalian kenapa-kenapa," keluhnya sendu. Hardika kakak tunggal Kawila, ketua himpunan fakultas hukum ikut aksi juga.

Bahu Kawila terasa berat, matanya pedih bukan karena gas air mata yang sempat diuncalkan aparat beberapa kali. Kekhawatirannya mendesak, ingin berteriak.

"Aku sama A Dika bakal baik-baik aja. Aku bakal balik, aku janji. A Dika juga pasti bisa menangani, aku janji bakal balik bawa A Dika sekalian." Malingga mengusap pucuk kepala gadisnya, menatap mata Kawila memberi keyakinan bahwa ucapannya tak pernah main-main. 

Raga Malingga, ketua BEM dari universitas nomor 1 di Indonesia melesat melebur bersama mahasiswa lain, memanjat keadilan dan kebenaran. Semoga Tuhan menjaga, amen. 

"Kaw, kalo Maling ga balik sama gue aja," celetuk Ibram. Ibram memang tak kenal situasi bila bercanda, kadang kelewatan juga. Namun candaannya sedikit menarik ujung bibir Kawila untuk tersenyum.

"Ga deh, gue yakin Malingga balik."

Siang semakin panas kala satu per satu mahasiswa gugur kehausan dan lelah, desak-desak lautan manusia menyita oksigen bagi mereka yang tak dapat bertahan. Menepi dan berteduh, tak jarang rombongan mengirim seorang yang sudah tak sadarkan diri.

Malingga ... Malingga, jabatan mu mempertaruhkan diri dan harga ribuan nama di forum universitas. 




Gusar, Kawila menghampiri Ibram yang sibuk membagi air mineral kemasan pada mahasiswa yang baru sadar dari pingsan.

"Bram, pinjam HT lah."

"Ambil aja di saku belakang gue nih," balasnya memberikan saku belakang alias pamer pantat, tangan Ibram memegang kardus air, tak bisa mengambil.

Kawila menekan tombol, memulai ucapan semoga Malingga menjawab. Walaupun ia tahu, ratusan ribu mahasiswa, tak cuma dua yang membawa Handy Talkie.

"Ini Kawila, Malingga masuk."

"...."

"Kawila Kawila, Malingga masuk."

"...."

"Kawila UI'98, Malingga UI'98 masuk."

"Malingga, maaf kirain orang lain."

Nafasnya lega begitu dibalas suara Malingga dari seberang sana, dia masih berjuang dengan yang lain. 

"Aku masih aksi, tunggu dulu, ya? Malingga keluar."

"Aku balik, pasti. Malingga keluar," ucap terakhir dari Malingga, memutuskan percakapan yang tak dibalas Kawila. Setidaknya Kawila tahu bahwa Malingga masih selamat. Namun hatinya masih gusar, entah karena apa. 

"Kawila UI'98, Hardika UI'95 masuk."

"Hardika masuk, Kawila tenang. A Dika gapapa."

Seperti membaca hatinya, Hardika langsung mengatakannya. Tapi hatinya tetap gusar, merasa akan ada yang terjadi nantinya. Sinar surya masih terang tepat diatas ubun kepala, negeri ini terlalu panas sampai sang surya iri dikalahkan. 




Krisis benar-benar mematikan ekonomi di Indonesia. Banyak mahasiswa harus mengambil masa jeda karena tak sanggup membayar uang kuliah, pun para karyawan pabrik dengan pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon. Ibu nya terkena dampak, beberapa tahun ini dilalui dengan susah, namun puji Tuhan uang kuliah nya masih terbayar.

"Asal kalian masih bisa sekolah, ibu tak apa. Beberapa pinjaman untuk hidup sehari-hari juga tak apa, uang sisa ayah kalian itu untuk sekolah."

Ucapan ibu terngiang, negara sedang susah namun pemerintah malah sibuk dengan nepotisme yang menguntungkan silsilah. Toh bukan berkembang, daerah makin tak karuan akhir-akhir ini dengan pemimpin yang menjabat 3 dekade tersebut.

Adanya kasus penembakan empat mahasiswa almet biru tua menambah daftar kelam negeri di abad ini. 

"Bu, boleh aku ikut demo?" 

Ibunda terdiam, tak bisa menjawab. Ia tahu betul kenapa putrinya memilih untuk ikut. "Kamu itu gadis, baiknya ngga usah ikut La. Ibu ga mau kamu kenapa-napa."

"Malingga bilang, berdiam diri saja berarti kita ngga mau membuat perubahan. Apa Ibu mau hidup begini terus? Beberapa minggu lagi mungkin kita akan didatangi terus oleh rentenir," Kawila tak mau mengalah.

Sekali saja ia ingin mengambil resiko bagi dirinya. Sekarang ibunya tak dapat berkutik. "Kamu mirip sekali dengan bapakmu, keras kepala. Besok akan Ibu siapkan sarapan paling enak biar kamu kuat." Senyum terukir dalam bingkai wajahnya. "Wila bakal jaga diri dan pulang, itu pasti, Bu."


Pagi ini Kawila berangkat dijemput oleh Malingga. Gugup tak dapat dielakkannya, takut untuk kemungkinan paling buruk. Memang benar pilihan untuk membela hak diri dan melantangkan orasi, tapi tetap saja— ah sudahlah memikirkan ini tak dapat mengubah apapun.

Ramai terlihat mahasiswa almamater biru berkerumun di depan kampus, membawa spanduk, toa dan ragam alat lainnya. "Kalau capek kamu harus lapor ke Ibram, biar dia bawa kamu ke masjid untuk istirahat." Kawila mengangguk, meski dia harap sarapan serta doa dari Ibunda pagi ini bisa membawa berkah baginya.

Semakin siang pun semakin habis dan capai tenaga para mahasiswa yang tengah berdiri, melangkah maju dan berteriak lantang. Hingga tak lama para satuan abdi negara yang katanya bertugas 'mengayomi warga' tampil dengan gas air mata di genggaman.

Tampak kerumunan mulai ricuh, panik dan menyebar tak karuan. Beberapanya saling injak, menabrak dan berlarian. Di sana terlihat Kawila tengah panik, ia kehilangan Malingga dari pandangannya. Segera diputuskannya untuk mencari Ibram. Ia gampang ditemukan sebab posisinya sebagai wakil ketua himpunan mengharuskan untuk selalu berada di sudut. 

"Ibram!!!" 

"Kawila! Cepat ikut sama cewe-cewe di sana. Lo harus ngungsi dulu. Malingga gue yang nyariin nanti." Seolah tahu apa isi benaknya Ibram langsung menjawab. Tak ada pilihan selain diam dan menurut. Sekarang ia khawatir, apa mungkin Malingga diculik?

Sementara satu jam yang lalu Malingga masih santai duduk di tepi sambil memegang HT. Ibram tengah menggantikannya mengontrol mahasiswa. Seluk beluk gerombolan diamatinya.

Sejujurnya ia pun mendengar perihal beberapa mahasiswa yang tak kembali sampai hari ini. Ia khawatir jikalau benar maka pelakunya pastilah— tunggu. Rasanya kemarin ia melihat Hardika berbincang dengan salah satu pejabat yang berkunjung ke kampus.

Segera langkahnya menyusuri bentala dan menghadap sang ketua himpunan.




Srrekk

Mulut Hardika ditutup dengan sapu tangan yang— sebentar, baunya tak asing. Ah ia pernah mencium bau ini di Fakultas Kedokteran. Obat bius. Jadi, Hardika tengah diculik? Pandangannya menggelap, kelam dan akhirnya hitam. Di akhir kesadarannya pupus, samar suara seseorang merambat ke telinganya. Malingga.




"GA! MALINGGA!!! AKU DI SINI!" Kawila melambai di antara kerumunan heboh yang ramai berteriak. Malingga yang sedari tadi mencari keberadaan kekasihnya ini langsung menghambur napas. Dengan sabar ditepisnya para mahasiswa yang pun ia tahu mulai lelah. 

"Kamu dari mana aja?! Puji Tuhan sudah ketemu." Tak dapat berkata-kata, Malingga mendekap gadisnya. "Maaf, aku tinggal dulu ya, La. Baik-baik, jaga diri kamu dan ibumu. Aku pamit."

"Hah? Maksud kamu? Ga! Malingga!!!!"

Byurrr

Basah, badannya diguyur sebotol air mineral. Tentu kesadaran segera menghampiri. Sayup matanya mengedip pelan hingga kepala dirasa mau ia copot saking peningnya. Tunggu, di mana ia sekarang?

Netranya menatap sekeliling, tempat ini asing. Dan yang paling membuatnya kaget adalah keberadaan Hardika Bayualig dengan keadaan yang sama sepertinya. "A' Dika! A'!" Berapa kali ia mencoba memanggil namun Hardika tetap tak sadarkan diri.

"Loh udah bangun?"

Derap langkah sepatu monkstrap itu tak terdengar olehnya sedari tadi. Apa ini ia tak tahu, Malingga tak paham. Kenapa mereka disekap di gedung kepolisian?

"Anda beneran polisi?"  Lelaki itu tertawa, "masa bohongan." 

"Kenapa kalian yang jadi pelaku hilangnya para mahasiswa kami?"

"Itu bukan kami."

Terdengar erangan dari samping. Rupanya Hardika sudah bangun dan segera sadar. "Apa ini?"

"Hardika Bayualig, calon pejabat yang selalu kami pantau dan kami didik dengan baik rupanya berkhianat. Mengapa begitu, Dika?"

Bergetar pupil lelaki gagah satu ini, ia tahu resikonya terlalu besar untuk mengecoh orang negara. Tapi Dika tahu, langkahnya tak salah. "Aku tak pernah memakai uang haram dari kalian."

"Tapi kau tetap menerimanya."

"A' Dika maksudnya apa ini A'? Jangan bilang kamu disuap—"

"ITU BUKAN PENYOGOKAN! Membungkam mulut seseorang bukan penyogokan, bocil sok tau."

"Itu penyogokan, brengsek. Bapak ngaku polisi tapi tingkahnya kaya sampah gini. Masuk aparatnya nyogok juga tah?"

Plakk

Tamparan mendarat sempurna di wajahnya, lancang sekali memang Malingga berucap demikian selagi diculik.

"A' Dika? Kenapa ngga bilang?"

"Aku ngga punya pilihan, mereka mengancam Kawila. Dan Demi Tuhan tak sekalipun aku menyentuh uang haram itu, Ga."

"Ga berkah A'. Aku kecewa sama A' Dika."

Lembayung datang menjemput, menenggelamkan baskara yang sedari tadi panas menyinari. Kawila dipaksa pulang, tanpa Malingga. Ia harap esok mereka segera bertemu. Semoga, semoga saja begitu. Amin paling serius.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer